UNAIR NEWS –  BEM FISIP UNAIR menggelar Airlangga Policy Dialogue (Airlogue) 2022 pada Selasa pagi (29/11/2022) secara luring di Aula Soetandyo, Gedung C FISIP UNAIR. Bertajuk seminar, Airlogue 2022 mengangkat tema “Meninjau Signifikansi Presidensi G20 terhadap Masa Depan Postur Perekonomian dan Lingkungan Indonesia” dan mengundang tiga pembicara.

Pembicara pertama adalah Co-Chairman Y20 Indonesia 2022 Nurul Hidayatul Ummah. Nurul mengatakan bahwa sumbangsih G20 terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia amatlah besar. Ia menjelaskan pula bahwa eksistensi G20 itu tak berdiri sendiri, tetapi banyak engagement group dan working group. Salah satunya adalah Y20 yang diisi oleh para pemuda dari negara G20 untuk membahas isu-isu global seperti perekonomian dan ketahanan pangan.

“Sumbangsih engagement group terhadap Indonesia apa? Perekonomian kita tumbuh, sekitar 7,4 triliun rupiah. Serta, G20 membangun citra Indonesia di mata dunia,” ujar Ketua Umum PP-IPNU itu.

Pembicara kedua adalah Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Edi Sutrisno. Edi mengatakan bahwa premis G20 mendatangkan pertumbuhan ekonomi dan investasi perlu dibarengi dengan skeptisisme. Jarang ditanyakan terkait efek pertumbuhan tersebut pada remote area di Indonesia serta pelaku UMKM dan usaha informal. Belum lagi, kedatangan investasi juga perlu ditelaah, siapa yang mendapatkan keuntungan? Jawaban Edi adalah pengusaha.

“Penyandingan hasil G20 terhadap sustainable financing yang menyokong pemajuan energi baru terbarukan juga masih sangat tidak linear. Sektor perekonomian itu masih sangat ekstraktif, dari tambang batubara, nikel, dan sawit. Riset kami mengatakan bahwa G20 itu 90% didanai oleh industri kelapa sawit, dan kita tahu sendiri bagaimana kontribusi industri tersebut pada deforestasi. PR kita masih banyak,” papar Edi.

Pembicara ketiga adalah Dosen Hubungan Internasional (HI) UNAIR Dr. Siti Rokhmawati Susanto. Irma, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki langkah konkrit agar tak menjadi aktor minor dalam level internasional. Ia menilai bahwa Indonesia masih belum bisa menemukan langkah strategis yang menguntungkannya karena kurangnya adaptivitas. Pertama adalah adaptivitas merespon terhadap globalisasi yang tidak bisa dihindari negara berkembang dan erat dengan agenda negara-negara maju. Kedua adalah adaptivitas menguatnya kubu Rusia-Cina yang menggeser lanskap geopolitik belakangan ini. Langkah konkrit itu bisa dicapai dengan memiliki kebijakan negara yang kuat.

“Dengan G20, kita bisa lebih dekat dengan negara-negara maju. Tetapi apakah kekuatan diplomasi kita dapat mewadahi kepentingan Indonesia di G20? Itu masih jadi pertanyaan, karena kebijakan negara kita juga masih belum kuat. Misal kita bahas soal transisi energi dan pengurangan emisi karbon. Kita masih belum bisa mengadopsi kewajiban tersebut sesuai dengan kemampuan kita, karena kita dikelindani inkonsistensi,” tutur Kepala Departemen HI UNAIR itu.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan