Hak penguasaan atas lapisan bumi berupa tanah merupakan suatu hak ekslusif yang dimiliki oleh setiap negara berdaulat untuk menandakan klaim atas wilayah negaranya. Pada penerapannya, negara sebagai suatu sistem pemerintahan, tidak secara serta merta dapat mengelola maupun memanfaatkan setiap tanah yang terkandung di dalam wilayahnya. Sehingga, penggunaan maupun pemanfaatan tanah tersebut seringkali diberikan kepada pihak yang mengajukan dan memenuhi persyaratan, baik kepada orang-perseorangan maupun badan hukum. Namun demikian, apabila diperhatikan kota-kota di Indonesia, akan sering dijumpai tanah maupun bangunan yang terbengkalai bahkan tidak terawat karena pemiliknya tidak mampu untuk mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip pemeliharaan secara berkesinambungan yang diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Di beberapa negara yang menganut sistem hukum common law (anglo saxon), termasuk di dalamnya Britania Raya, Kanada dan Australia terdapat suatu konsep mengenai hak atas tanah yang dikenal dengan istilah proprietary rights. Dalam proprietary rights itu sendiri terdapat dua unsur utama, yakni property yaitu hak bernama atau sifat dasar dari hak penggunaan tanah tersebut, serta ownership yang diartikan sebagai subyek yang memperoleh hak penggunaan tanah tersebut. Pada prinsipnya, crown atau regalia (Inggris) yang diwakili oleh konstitusi negara merupakan pemilik dan penguasa atas tanah yang pada pemanfaatannya, memberikan kepanjangan hak kepada subyek privat untuk memperoleh property guna memanfaatkan tanah tersebut demi kepentingan pribadi, baik secara mandiri dan tanpa adanya campur tangan dari negara atau independen. Sehingga dapat dikatakan bahwa negara Britania Raya sebagai pemilik dan penguasa tanah tersebut melepaskan hak penguasaannya secara hukum kepada pihak lain dalam kurun waktu tertentu, namun tidak melepaskan hak kepemilikanya kepada pihak yang menguasai tanah tersebut.
Dalam pemanfaatannya, pemegang hak property atas tanah dapat memberikan pemanfaatan atas lahan tersebut kepada pihak lain untuk turut serta memanfaatkan atau menguasai tanah yang haknya diperoleh dalam kurun waktu tertentu baik dengan atau tanpa adanya persyaratan tertentu seusai dengan kesepakatan para pihak. Dalam konsep ini, dikenal pula mekanisme trust of land yakni penyerahan pengelolaan kepada pihak ketiga yang bertindak atas nama pemilik hak dalam mengelola hak atas tanahnya. Secara garis besar, trust of land merupakan suatu perbuatan yang mana seorang settlor (si pemberi trust) secara hukum memberikan hak pengelolaan atas property kepada trustee (si penerima trust) dengan upah baik dari bagi hasil pengelolaan tanah tersebut maupun dari kesepakatan lain guna kepentingan settlor atau untuk pihak lain yang ditujukan oleh settlor yang kesemuaan ini dikenal dengan istilah beneficiaries. Pihak trustee tersebut tidak dibatasi dan boleh siapapun yang ditunjuk, baik berupa orang-perseorangan maupun badan hukum. Dalam konsepnya, trustee mendapat penguasaan atas property tersebut secara hukum, namun demikian tedapat kewajiban atas hak yang perlu ia penuhi kepada si beneficiaries. Secara singkat, hak yang harus dipenuhi tersebut dikenal dengan istilah equitable interest yakni suatu hak yang timbul atas kepemilikan, baik penuh atau sebagian dari suatu property, namun penguasaan property tersebut tidak berada padanya
Kewenangan dan Disposition Tata Pengelolaan Trustee
Untuk menjalankan suatu trust yang itikadnya telah disampaikan oleh para pihak, pertama, settlor harus terlebih dahulu mengalihkan hak penguasaan atas tanah secara hukum kepada trustee. Pengalihan ini menandakan bahwa settlor sudah tidak memegang kendali lagi atas tanah dan seakan, ia telah kehilangan haknya untuk menguasai tanah tersebut di mata hukum, termasuk untuk mengelolanya secara langsung. Mengacu pada peraturan umum dalam kasus re Rose, arti penting dalam penyerahan hak pengelolaan merupakan suatu wujud konsistensi atas itikad yang telah dibuat dimana settlor dengan segala kewenangannya telah menyerahkan property yang merupakan obyek hukum dari trust untuk dikelola oleh penerima, hal ini dapat diwujudkan dengan penyerahan kunci maupun pembukaan akses ke dalam property yang dimilikinya. Sehingga, menandakan bahwa dalam trust tersebut merupakan kehendak pribadi tanpa adanya paksaan. Apabila trust ini telah secara hukum didirikan oleh para pihak, dalam artian bahwa settlor telah menyerahkan kekuasaanya atas tanah tersebut kepada trustee, maka kepada trustee tersebut secara otomatis berlaku ketentuan umum mengenai kewajiban duty of care sebagaimana telah dibahas di atas. Dalam praktiknya, duty of care ini erat kaitannya dengan kaidah hukum dalam kasus Re Gartside’s Will Trusts yang pada intinya menerangkan bahwa trustee memiliki discretionary power yakni suatu hak untuk berbuat, berpikir, dan bertindak secara independen atas suatu hal yang menurut kemampuan dan pengalamannya dianggap baik guna kepentingan settlor. Dapat dikatakan ketika settlor telah menentukan tujuan dari trust tersebut, merupakan kebebasan dari trustee untuk melakukan tindakan apapun sesuai dengan kemampuannya guna memenuhi tujuan tersebut. Secara garis besar, kewenangan dari trustee ini didasari atas hak apa yang diberikan oleh settlor kepadanya. Hal ini dapat dilihat dalam tujuan trust of land itu sendiri dan melalui intstruksi tertulis maupun lisan dari settlor dalam berjalannya trust of land tersebut. Apabila settlor secara tertulis memberikan hak kepada trustee untuk menjual tanahnya tersebut, atau dikenal dengan istilah trust for sale of land, maka trustee berwenang untuk mewakili pemilik untuk menjual tanah tersebut atas nama si pemilik tanah. Apabila settlor memberikan hak substitusi atas trust of land tersebut, maka trustee berwenang untuk mengsubtitusikan trust yang diterimanya tersebut kepada pihak lain sesuai dengan persetujuan settlor. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalam praktiknya, kewenangan dari trustee bersifat relatif.
Penulis: Oemar Moechthar, S.H., M.Kn.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://e-journal.unair.ac.id/MI/article/view/34969
Oemar Moechthar dan Ardian Firmansyah Arifin (2022). Penerapan Konsep Trust of Land Dalam Sistem Hukum Agraria: Suatu Perbandingan Hukum Antara Indonesia dan Britania Raya. Media Iuris. 5 (3), h.351-380, November 2022. DOI: https://doi.org/10.20473/mi.v5i3.34969