Salah satu gangguan perilaku yang paling umum ditemukan, pada anak-anak, yang bahkan bertahan hingga dewasa, adalah Perhatian Hiperaktivitas Defisit (ADHD). Bila dilihat dari angka kejadian nya , ADHD di seluruh dunia adalah sekitar 5,3% dari total penduduk di dunia. Dari data yang diperoleh dari tahun 2002 hingga 2004 menyatakan bahwa prevalensi ADHD di Indonesia setidaknya 10% dari populasi anak-anak dan terjadi pada remaja berusia 3-18 tahun, dan data tahun 2009 menunjukkan meningkat menjadi 15,8% pada rentang usia tersebut.  Defisit Perhatian Hyperactivity Disorder memiliki tiga gejala utama, yaitu kurang perhatian, hiperaktif, dan impulsif, atau kombinasi dari ketiganya. Gejala ini sering menyebabkan kesulitan dalam perawatan gigi anak dengan ADHD. Maloklusi adalah keadaan dimana gigi tidak terletak tidak sejajar pada tempatnya atau terkadang disebut juga gigi dalam dalam poisisi berantakan. Maloklusi terbagi dalam berbagai macam antara lain  klas I, kals II, klas III  didasarkan atas hubungan anteroposterior antara rahang atas dan rahang bawah, dengan molar pertama permanen sebagai kunci oklusinya.

Kebanyakan pasien dengan maloklusi kelas II hadir dengan hiperaktif perioral otot dan perubahan posisi lidah. Maloklusi kelas II adalah masalah yang sering ditemukan pada sepertiga pasien normal yang datang untuk mendapatkan perawatan koreksi maloklusi atau disebut juga  ortodontik. Perawatan ortodontik lepasan, seperti alat myofungsional, pada anak-anak dengan ADHD, memberikan tantangan khusus bagi dokter, kareana keberhasilan prosedur sangat tergantung pada kepatuhan dan kasus yang dialami oleh pasien. Banyak dokter gigi yang cenderung untuk menyerah atau tidak melanjutkan perawatan orthodontik utamanya pada pasien dengan ADHD. Pada artikel ini kami ingin membagikan bahwa ternyata perawatan orhtodontik pada pasien anak dengan ADHD memungkinkan untuk dilakukan, hanya saja memerlukan adaptasi khusus. 

Pada kasus yang telah dirawat, kami melakukan perawatan pada seorang pasien ADHD laki-laki berusia 9 tahun dengan maloklusi dentoskeletal kelas II datang ke Rumah SAkit Gigi dan Mulut bagian Kedokteran Gigi Anak Universitas Airlangga, Surabaya, dengan keluhan utama gigi tampak menonjol pada rahang atas. Dimana pasien mengalami gangguan perilaku ADHD yang cukup memberikan tantangan bagi dokter gigi untuk melakukan perawatan. Setelah dilakukan pemerikasaan ditemukan bahwa pasien dalam keadaan maloklusi klas II. Maloklusi klas II hadir dengan otot perioral yang hiperaktif dan perubahan posisi lidah. Oleh karena itu, alat myofungsional adalah perawatan yang paling sesuai sebagai terapi pilihan. Karena pasien memilki gangguan perilaku , maka aturan khusus dimana pasien diminta untuk fokus pada instruksi operator selama 10 menit lalu istirahat 5 menit, diterapkan pada pasien ini untuk mengatasi gejala ADHD sebagai strategi manajemen perilaku. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa anak-anak dengan ADHD rentan terhadap gangguan, menyebabkan mereka memiliki waktu yang lebih pendek durasi fokus, rentang perhatian berkelanjutan yang terbatas, kontrol impuls yang buruk, dan aktivitas motorik yang berlebihan dibandingkan dengan anak-anak normal. Strategi ini memberikan hasil yang positif dalam menjaga kerjasama pasien dengan menggunakan twin block selama 6 bulan yang mengarah pada kemajuan positif dalam koreksi maloklusi. Dari sini maka dapat terlihat bahwa melakukan perawatan koreksi maloklusi pada anak dengan ADHD dapat dilakukan.

Penulis: Mega Moeharyono Puteri

Link Jurnal: https://scholar.unair.ac.id/en/publications/myofunctional-therapy-using-twin-block-appliance-in-a-class-ii-ma/fingerprints/